Saturday, July 09, 2016

Menghilang Perlahan

Teddy Budiwan
July 5, 2016

Terlempar ke kesadaran kini, aku terbentang di tengah ruang mengambang. Kenapa bisa sampai di sini ya?
Aku tidak melekat di dinding atau lantai, aku tidak tertumbuk di sudut.
Aku tidak diam, karena kalau kututup mataku, aku sadar kalau aku berputar berlawanan arah dengan arah rotasiku. Semakin lama mataku kututup, semakin kurasakan rotasi dan revolusi itu. Tanganku seperti terlempar ke luar. Aku di mana?
Aku tidak mau lari lagi. Aku akan berdiri di sini saja. Di depan anak kecil ini, yang berulang kali bertanya aku mau ke mana.
Apa urusan bocah tengik ini? Aku akan pergi ke mana saja yang aku mau. Lamat-lamat aku melihat kasur di depanku. Kasur yang empuk, lutut yang goyah. Perlahan-lahan aku menuju kasur itu. Bocah tengik berlari-lari berlompatan, berteriak mengejekku, mencoba mencegahku untuk duduk di kasur itu.
Apa urusannya mencegahku? Awas saja kalau dia berani.
Aku kaget ketika tersentak bangun. Ada yang aneh dengan posisi tidur ini. Ini bukan tempat tidurku yang biasa. Aku tidak tidur di sini.
Perlahan-lahan aku bangun untuk berdiri. Tuyul kecil itu masih ada. Kugertak dia, siapa kau. Ia takut, mukanya kesal sekali. Biarkan saja, siapa suruh menggangguku. Aku ingin kembali ke rumah. Di mana rumahku? Aku bingung dengan maze ini. Aku tahu pintu itu.
Perlahan-lahan aku menggapai gagang besi pintu, dengan sekali sentak, aku sudah berada di dunia yang berbeda.
Ruang ini seperti rumahku saat aku dulu bertugas di suatu kota, di depan dua gunung, dengan anak dan istriku. Di mana gunung itu? Aku mencari bagian depan dan belakang rumah ini.
Lututku goyah, sialan.
Aku merasa harus ke kamar mandi. Mungkin ke kiri ini kamar mandiku. Aku berjalan dengan gamang, tergopoh-gopoh sambil menghitung batas kemampuanku menahan kencing.
Bah, ini ruang depan, tapi aku sudah tidak tahan. Kulihat kiri dan kanan, aman. Kubuka celanaku cepat-cepat, toh tidak ada orang. Aku hanya akan melepas sedikit saja, aku sudah tidak tahan.
Kenapa kencing di situ, suara kecil tinggi yang menyebalkan itu kembali kudengar. Bocah tengik itu lagi. Hidupnya memang hanya untuk menyusahkanku saja. Aku gertak dia. Ia berlari-lari memanggil seseorang di belakang yang tergopoh-gopoh ke depan membawa kain. Ya sudah, dia sudah tahu apa yang harus dilakukan. Sambil merapikan celana, aku pura-pura tidak tahu. Nggak kok, nggak kencing di sini, mana ada, dalihku, tanpa kutahu kalau alasan itu sudah kulagukan berpuluh-puluh kali. Mereka semua sudah paham sepertinya. Baguslah, tidak ada yang kaget kan. Lututku lemah, aku duduk di kursi tengah. Nafasku berat. Lamat-lamat kudengar anak sialan itu masih berteriak-teriak, membanting sesuatu. Aku fokus pada nafasku yang kugenggam erat-erat. Tahan, tahan, tetap bertahan untuk tetap ada. Sedikit demi sedikit aku berputar-putar.
Knalpot motor membangunkanku. Aku teringat pada dua gunung, aku mencari sesuatu. Apa itu, ya? Di mana itu? Aku ke mana sekarang? Baik kucari dua gunung itu, toh aku tidak punya apa-apa untuk kukejar.
Pintu belakang kubuka, aku menantikan hamparan hijau terbuka. Alih-alih gunung, pandanganku tertambat pagar dan garasi. Pohon-pohon kecil dan rumput yang tanggung. Bah, apa ini? Aku kesal sekali. Di mana gunung itu? Di mana istri dan anakku? Tanganku menggapai udara di depanku, berusaha untuk menggenggam udara. Di manakah waktu itu? Bisakah kunikmati sekali lagi? Semua waktu yang menggeliat melewatiku yang kerja keras membanting tulang untuk mereka semua. Mereka yang kini hidup dengan senang dengan cucuran keringat, air mata dan darahku. Aku kangen mereka semua. Apakah mereka masih hidup semua? Di mana anak-anakku semuanya?
Nafasku berat sekali, lututku goyah. Aduh, aku harus buang air lagi. Sialan.
Aku tidak akan kehilangan diriku kali ini. Aku hanya akan kehilangan semuanya. Aku akan kehilangan ingatan mengenai keseharianku, lalu aku akan kehilangan ingatan mengenai hidup ini. Tapi aku tidak akan kehilangan diriku. Tidak kali ini.

Peluk cium untuk ayah mertuaku
Running Naughty Boy (feat. Beyonce)


Children no More

9 Juli 2016
Teddy Budiwan

Kulihat sekali lagi. Koper, tas, tas kecil dua. Apa lagi yang terlupa?
Aku masih mencari-cari apa yang terlupa ketika bahuku ditepuk. Aku mendongak.
Ada yang terlupa?
Aku menggeleng, tapi hatiku tidak yakin. Aku melihat ke sudut stasiun. Aku tidak tahu apa yang kucari, tapi aku tidak berani untuk melihat ke depan. Rasanya aneh sekali.
Sekali lagi aku dipeluknya. Setiap kali pelukannya bertambah erat, yang ini juga tidak terkecuali. Aku merasakan kekuatirannya. Aku bertanya pada diriku sendiri, apakah pelukan ini akan menjadi semakin jarang dan semakin mahal seiring dengan bertambahnya waktu nanti?
Sudah 5 menit berlalu, rasanya seperti setahun aku berdiri di sini. Kata-kata sudah habis, nasihat sudah, wanti-wanti sudah, ancaman sudah, janji sudah, rindu sudah. Kami hanya berdiri saja di sini. Dia sok sibuk memeriksa jamnya, berbasa-basi dengan temannya. Aku tahu dia tidak suka aku pergi, tapi dia toh berdiri di sini, membantuku. Aku tahu dia tidak siap, aku juga tidak siap.
Uang ada?
Aku mengangguk. Mengangguk untuk pertanyaan yang sudah 10 kali ditanyakannya dari tadi.
Sekarang sudah 30 tahun kemudian. Rasanya baru saja sebulan yang lalu aku pergi. Masih kucium bau pelukannya, sedikit bau asap rokoknya.  Aku kangen padanya.
Kulihat ke bawah, ke Salmanku yang memperhatikan tiketnya. Perlahan-lahan kepalanya bergerak-gerak memperhatikan kopernya dan tas gitarnya. Kutepuk bahunya.
Ada yang terlupa?
Dia menggeleng.
Aku tahu, kali ini giliranku, tapi rasanya semua ini terlalu cepat. Rasanya kalau boleh aku minta undur sehari dua, mempersiapkan diri, tapi aku tahu itu bohong.
Aku tidak akan siap untuk melepasnya. Aku tidak peduli setinggi apa dia sekarang, aku melihatnya masih seperti anak 4 tahun yang kemarin aku gendong. Anak yang sama yang tertatih-tatih berjalan tersandung kakinya sendiri dan menangis. Anak yang harus kukejar-kejar dan kuteriaki untuk mandi, ganti baju, makan, tidur. Dia akan berlari-lari sambil mengejekku, aku akan teriak-teriak dan pura-pura marah. Anak kecil itu yag sekarang berdiri di depanku, akan pergi meninggalkanku.
Kupeluk lagi dirinya. Lebih erat. Aku tak berdaya. Yang kudengar hanya degup jantungku dan wangi rambutnya.
Pasti dia kira Ayahnya cengeng banget.


Je Vole – Louane from “La Fmille BĂ©lier”. 



Tuesday, July 05, 2016

Back to Black

2 Juli 2016

Pagi itu ia terbangun dengan kaget, seperti ada sesuatu yang hilang.
Reflek ia meraih ke kanannya.
Kosong.
Rautnya kecewa.
Sesuatu berkedut di dalam dadanya. Sepertinya jantungnya berhenti sesaat, dunia terpisah dari dirinya, ia seperti terlempar keluar dari kesadaran dirinya sendiri.
Ia keluar dari keseimbangan dirinya sendiri.
Dengan kesal ia membanting kepalanya sendiri kembali ke bantal. Tangannya mencengkeram bantal dan selimut di sebelah kanannya.
Hari apa ini?
Siapa yang peduli. Dia tidak ada di sini.
Matanya lari ke jendela. Satu kota menyapanya dengan paparan matahari yang terang dan kuning. Dari kejauhan satu dua metromini terdengar, klakson, suara angin dari lantai 20.
Jakarta menyapanya.
Tapi itu rasanya hampa.
Ia menarik kembali selimutnya. Rasanya ia ingin ditelan bumi saja.

song: back to black - Amy Winehouse