Saturday, July 09, 2016

Children no More

9 Juli 2016
Teddy Budiwan

Kulihat sekali lagi. Koper, tas, tas kecil dua. Apa lagi yang terlupa?
Aku masih mencari-cari apa yang terlupa ketika bahuku ditepuk. Aku mendongak.
Ada yang terlupa?
Aku menggeleng, tapi hatiku tidak yakin. Aku melihat ke sudut stasiun. Aku tidak tahu apa yang kucari, tapi aku tidak berani untuk melihat ke depan. Rasanya aneh sekali.
Sekali lagi aku dipeluknya. Setiap kali pelukannya bertambah erat, yang ini juga tidak terkecuali. Aku merasakan kekuatirannya. Aku bertanya pada diriku sendiri, apakah pelukan ini akan menjadi semakin jarang dan semakin mahal seiring dengan bertambahnya waktu nanti?
Sudah 5 menit berlalu, rasanya seperti setahun aku berdiri di sini. Kata-kata sudah habis, nasihat sudah, wanti-wanti sudah, ancaman sudah, janji sudah, rindu sudah. Kami hanya berdiri saja di sini. Dia sok sibuk memeriksa jamnya, berbasa-basi dengan temannya. Aku tahu dia tidak suka aku pergi, tapi dia toh berdiri di sini, membantuku. Aku tahu dia tidak siap, aku juga tidak siap.
Uang ada?
Aku mengangguk. Mengangguk untuk pertanyaan yang sudah 10 kali ditanyakannya dari tadi.
Sekarang sudah 30 tahun kemudian. Rasanya baru saja sebulan yang lalu aku pergi. Masih kucium bau pelukannya, sedikit bau asap rokoknya.  Aku kangen padanya.
Kulihat ke bawah, ke Salmanku yang memperhatikan tiketnya. Perlahan-lahan kepalanya bergerak-gerak memperhatikan kopernya dan tas gitarnya. Kutepuk bahunya.
Ada yang terlupa?
Dia menggeleng.
Aku tahu, kali ini giliranku, tapi rasanya semua ini terlalu cepat. Rasanya kalau boleh aku minta undur sehari dua, mempersiapkan diri, tapi aku tahu itu bohong.
Aku tidak akan siap untuk melepasnya. Aku tidak peduli setinggi apa dia sekarang, aku melihatnya masih seperti anak 4 tahun yang kemarin aku gendong. Anak yang sama yang tertatih-tatih berjalan tersandung kakinya sendiri dan menangis. Anak yang harus kukejar-kejar dan kuteriaki untuk mandi, ganti baju, makan, tidur. Dia akan berlari-lari sambil mengejekku, aku akan teriak-teriak dan pura-pura marah. Anak kecil itu yag sekarang berdiri di depanku, akan pergi meninggalkanku.
Kupeluk lagi dirinya. Lebih erat. Aku tak berdaya. Yang kudengar hanya degup jantungku dan wangi rambutnya.
Pasti dia kira Ayahnya cengeng banget.


Je Vole – Louane from “La Fmille BĂ©lier”. 



No comments: