Monday, September 04, 2006

Seribu Tahun

Seribu Tahun
Teddy Budiwan


Rasanya sangat hampa ketika sesuatu menimpa dadaku. Di manakah aku sekarang ini? Kemanakah diriku telah pergi selama ini? Kenapa tak satupun kata-kata muncul dari mulut ini, ketika tiba waktunya aku harus membuktikan sesuatu di depan orang lain?

“Aku harus pergi,” bukanlah pilihan kalimat yang bagus. Aku perlu berada di sini dan menyelesaikan hal ini, seperti dia butuh untuk berada di sini dan menyelesaikan hal ini.

Diam. Sangat biasa, untuk dia.

Aku ngantuk

“Aku ngantuk,” juga bukanlah pilihan yang bagus.

“Jadi gimana?” Itu adalah pilihan yang bagus. Jeleknya, itu datang dari mulutnya, bukan pilihanku. Aku tidak punya banyak waktu untuk merutuk, waktuku benar-benar sempit, inilah saatnya, atau tidak sama sekali.

Tidak sama sekali, jelek sekali kedengarannya. Itu bukan main-main, tidak sama sekali itu benar-benar jelek sekali kedengarannya. Itu sama saja dengan menutup kemungkinan untuk aku memilih tidak, karena titel yang ada di tidak adalah ‘tidak sama sekali’. Itu menegasikan pilihanku untuk merubah pikiran secara permanen.

Itu bukanlah pilihan, itu pemaksaan.

Dan aku terlalu terlarut dengan pikiranku sendiri, ketika dia mulai menghilang. Waktu selanjutnya terisi dengan aku terlalu terpana dengan berlalunya waktu, dan panik karena dia mulai menghilang.

Ketika hanya tinggal sebayangan kepalanya yang jelas, aku berpikir, apakah harus kukatakan.

Bayangannya tidak jelas, yang jelas hanyalah dua tetes air mata yang jatuh. Aku telah terlambat lagi.

Dia pasti kecewa. Ya, aku tahu. Aku, si underachiever, telah beraksi kembali. Bodohnya aku.

Kembali lagi nih, mengisi seribu tahun dengan merutuk dan mengandai-andai-bagaimana-seandainya-iya.

Aku membalikkan badan, menyesal, tapi melangkah dengan cepat.

Aku tidak melihat sebentar tangannya menjadi jelas, dan wajahnya menjadi jelas, memelas, menggapai ke arahku. Sayang, suaranya tidak terdengar. Sebentar saja, bayangannya menjadi jelas, lalu menghilang. Sayang sekali, padahal itu adalah pertanda yang jelas kalau dia juga menginginkannya.

Sayang, aku tidak melihatnya. Aku terlalu sibuk memulai seribut tahun penyesalanku.





Bodohnya penyesalan – Jumat, 07 Desember 2001


No comments: