Wednesday, April 05, 2006

Barang Palsu

Sebuah acara di radio barusan membahas mengenai pembajakan di Indonesia. Pembahasan mereka sepertinya berusaha membujuk pendengarnya agar malu memakai barang bajakan dalam bentuk apapun.
Aku terpikir, kenapa hal seperti itu harus menjadi pertanyaan? Kita memilih barang-barang tersebut karena secara value, mereka lebih tinggi dibandingkan dengan barang-barang aslinya.
Value tidak berarti harga. Value bisa berwujud rasa bangga, keuntungan service yang diperoleh dengan pembelian produk asli dan seterusnya. Jika barang asli dan palsu tersebut adalah brand yang berbeda untuk kategori produk yang sama, mungkin aku dapat memberikan pemahaman yang sederhana.
Bagaimana cara mendorong konsumen untuk memilih satu brand dibandingkan brand lainnya? Tunjukkan dan bujuk mereka untuk mengerti dan menghargai value, seperti kualitas (motor jepang itu lebih tahan lama dari motor cina) atau servis (notebook dengan jaringan servis nasional dapat memberikan layanan dalam wilayah yang lebih luas daripada servis satu toko). Jika value ini dipersepsikan lebih berharga daripada beda rupiah yang harus dikeluarkan, maka brand yang satu akan dipilih daripada brand lainnya.
Contoh value yang lain adalah jika kita membeli satu merk dompet seharga berpuluh-puluh juta, kita mendapatkan membership di country club mewah, atau menggunakan membeli buku di toko buku tertentu akan mendedahkan kita pada potongan harga untuk buku-buku tertentu, undangan untuk penandatangan buku best seller, pembacaan buku oleh author atau acara lainnya yang dapat dibuat ekslusif.
Dari sudut pandang pemerintah, dapat diberlakukan regulasi yang didukung dengan punishment yang keras bagi pengedar, penjual dan pemakai barang-barang tersebut.
Lalu bagaimana dengan barang-barang yang tadinya murah dan accessible ke publik? Apakah kita akan rugi dengan technological dan knowledge divide? Tentu saja kita akan rugi, jika gap itu tidak diisi. Kita tidak akan mampu menikmati film-film dengan harga murah di DVD kita, kita tidak akan mampu untuk menikmati barang-barang dengan brand terkenal di dunia dengan harga murah. Tapi itu berarti berjuta-juta penduduk Indonesia lainnya akan mengalami hal yang sama. Kita akan mengalami deprivasi/kelaparan terhadap hal-hal tersebut.
Lalu apa intinya?
Tidakkah kamu melihatnya? Dengan banyak orang membutuhkan hal yang sama, ini menciptakan pasar yang besar, CUKUP BESAR untuk membuat produsen dan distributor produk-produk tadi untuk menyadari opportunity cost yang terjadi dengan mempertahankan harga yang terlalu mahal tadi. Coba, 2 juta penduduk Jakarta saja, yang tidak punya dan membutuhkan dompet, itu berarti sudah terjual 3 juta dompet 20-ribuan ke tangan penjual dompet palsu di mal-mal. Itu berarti bisnis 40 milyar sudah pindah tangan hanya karena produkmu tidak ada value yang bisa me counter harga murah tersebut. 4 juta USD itu duit yang banyak, dimanapun.
Ada berapa mahasiswa ekonomi di Indonesia membutuhkan buku Corporate Finance nya Ross dalam satu tahun? Contoh kecil, ada 30 mahasiswa di kelasku, dan 100-an mahasiswa di sekolah bisnis istriku. Aku kalikan saja sepuluh untuk Indonesia, itu berarti 1300 eksemplar. 1300 kali 80-an halaman, dengan 100 rupiah per halaman di tukang fotokopi depok berarti. Yang kutahu, toko buku di kampusku, dengan surat pemberitahuan bahwa buku tertentu akan digunakan (belum pasti dibeli, lho) sebagai buku wajib, dapat menurunkan harga suatu buku menjadi 1/5 harga jual awalnya. Bayangkan potongan seperti apa yang dapat mereka tawarkan dengan pasar 1300 buku, 1 mata kuliah, 1 semester? Temenku di S-1 dulu berhasil mendapatkan edisi istimewa dengan bekerjasama dengan penerbit buku cabang singapur, untuk menghasilkan buku asli yang berbeda 20000 dibandingkan dengan harga buku fotokopi. Beda 20000 dan mereka mendapatkan akses online ke situs buku tersebut beserta CDnya. Bukankah itu value yang menarik?
Apakah kamu bisa mulai merasakan besarnya pasar barang-barang 'tidak asli' ini? Menurutku, dengan 'melindungi' distribusi barang-barang palsu, pasar kita justru menjadi tidak menarik bagi produsen apapun produk asli, karena pasar yang segitu besar hanya terbuang begitu saja, mereka tidak akan mampu untuk bersaing. Kita juga akan rugi, karena tidak akan pernah merasakan value suatu produk selain versi palsunya. Kita juga akan sulit untuk merasakan servis atau kualitas yang sebenarnya. Jangan hanya berpikir kita akan kehilangan opsi untuk membeli barang lebih murah, menurutku justru hal ini akan membuka pasar yang sangat bagus untuk mempertahankan devisa di Indonesia, melalui produk-produk Indonesia. Dengan dilindungi dari barang-barang asal jadi dan berharga terlalu murah, pengusaha kita akan dapat bersaing dengan membuat produk yang berkualitas di level harga yang menarik untuk mereka juga.
Lho? Kan cuma 5000? 20000? Hehehe.. 1 juta aja mengkonsumsi barang seperti itu, sudah berapa?
Apa ya, yang harganya 5000 dan konsumsinya mungkin lebih dari 1 juta setiap tahun? 5 juta setiap tahun? 10 juta setiap tahun?
Jadi di mana pendapatku? Aku pro untuk meregulasikan anti-barang bajakan dan penegakan yang sepenuhnya terhadap regulasi tersebut, karena itu berarti industri kita akan kembali mempunyai pasar untuk produk mereka, dan mereka akan punya margin yang cukup untuk memikirkan kualitas, sehingga kita akan memperoleh produk yang lebih baik dari palsu dan berada di posisi produksi selain hanya konsumen.

No comments: