Sunday, February 15, 2009

Reading fiction is a waste of my time

Dengan teman kerja, aku pernah membahas kalau membaca cerita fiksi itu membuang-buang waktu. Aku ingat kalau aku tertawa dan setuju.
Pagi ini, setelah membaca beberapa bacaan, aku mulai teringat sesuatu. Pada siklusnya kebudayaan manusia, fiksi (dan bentuk seni lainnya) adalah gambaran yang jelas dari apa yang dipikirkan dan (terutama sekali) yang dirasakan oleh masyarakat pada saat itu. Seniman menangkap esensi tersebut dan menuangkannya dalam bentuk yang indah, dalam bentuk yang telanjang ataupun dibungkus dengan pengandaian.
Di dalam tamadun yang berbeda, seni justru mendorong pergerakan kebudayaan ke bentuk selanjutnya, memaksa semua kubik kehidupan lainnya untuk bergerak, memberikan satu tujuan di depan yang tadinya tidak bisa didefinisikan oleh pihak lain, terutama teknologi. Ini sebabnya kenapa kita menonton pintu yang membuka dan menutup sendiri di film sebelum memiliki teknologinya, dan juga sebab kenapa kita melihat interface yang bereaksi terhadap beberapa sentuhan sekaligus sebelum memiliki konsep teknologinya.
Jadi, seni (atau dalam bentuk yang lebih kecil dan lebih kontekstual terhadap bahasan ini, cerita fiksi) memiliki peran yang seringkali kritikal sebagai sebab atau akibat dari sebuah ide tertentu dalam suatu kebudayaan. Karena itu, keberadaannya menjadi esensial.
Tentu saja, itu bukan berarti cerita tersebut harus dibaca. Selalu ada review atau sinopsis. Dalam 800 halaman, ada 1-2 halaman ringkasan yang esensial dan menangkap pesan penting dari bacaan tersebut. Jadi, tetap saja, bagiku (dan mungkin temanku), itu tidak penting untuk dikonsumsi :D.

No comments: