Monday, March 12, 2007

Prettiest Thing

Aku hanya bisa melihatnya dari kejauhan. Aku hanya bisa melihatnya sebentar saja, lalu nanti di waktu yang lama. Itupun hanya sebentar, lalu nanti lagi. Kita tidak sering bertemu, dan kita jarang bertegur. Aku hanya melihatnya saja, lalu lalang dari kejauhan, atau terlintas ketika aku melewati bagian pasar itu, pasar daging. Aku jarang melihat matanya, karena dia sedang membantai tulang, atau mengiris potongan tertentu, dan aku hanya menghantarkan minuman atau makanan ke kios tertentu. Melewatinya.

Tapi aku melihat garis itu di mukanya. Garis yang jelas di mukanya. Garis yang menghapus senyum di mukanya, menghilangkan binar harapan dari matanya. Kuperhatikan berkali-kali, garis itu tetap ada. Garis yang halus, namun jelas dan nyata. Garis yang dibentuk berkali-kali. Garis yang tidak bisa dihapus.

Tak ada yang bisa kukatakan untuknya, karena aku tidak bisa berkata-kata padanya.

Aku melihat ke atas, aku merasa terbang ke langit, menembus awan dan mencapai kejauhan dalam hitungan kedipan mata. Aku menutup mataku, aku tinggal merasakan waktu tertentu, dan ketika kuniatkan, aku sudah menembus waktu, mencapai kediaman yang telah kulewati atau belum kucapai. Tapi aku tidak bisa memutar langkahku 60 derjat ke kanan dan menyapanya. Tidak, karena batas ini lebih tebal dari ruang dan waktu.

Aku melihat di matanya, sesuatu telah membuatnya menyalahkan dirinya sendiri untuk kekecewaannya.

Aku menutup mataku, berdoa dengan setulus hatiku. Biarkanlah seorang pahlawan datang untuknya, mengatakan bahwa itu semua bukan salahnya, bahwa semuanya akan baik-baik saja, untuk tidak berhenti berharap. Aku berdoa pahlawan itu akan menghapus semua tumpukan garis itu untuknya. Untuk semua orang yang kulihat memiliki garis itu. Kudoakan pahlawan bagi mereka semua. Agar mereka sadar akan kelebihan mereka, akan keindahan mereka.

Hatiku menjadi lebih baik dengan doaku. Kuperhatikan mukanya. Apakah garis itu sudah hilang?

Tidak, masih ada.

Mungkin besok pahlawan itu akan datang. Kan doa tidak langsung dikabulkan, harus melalui proses dulu, disortir, diperhatikan signifikansinya…

Entah apa lagi alasanku untuk hal itu.


 

*As written on Indira.

No comments: